Rabu, 31 Oktober 2012

Filsafat Pendidikan BK


  A.   Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa aliran, antara lain progresivisme, esensialisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme.
1.      Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229).
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan meliputi : ilmu hayat, bahwa manusia mengetahui semua masalah kehidupan; antropologi, bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru; psikologi, bahwa manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, pengalaman, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengatur alam.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.
Dalam pandangan ontologis, menurut aliran progresivisme, kenyataan alam semesta merupakan kenyataan kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia terhadap segala sesuatu. Pengalaman tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain adalah realitas manusia sampai mati. Pengalaman adalah suatu sumber evolusi, yang berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah-mudah menerobos pada yang sulit-sulit (proses perkembangan lama). Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup adalah tindakan dan perubahan-perubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan, dan berani bertindak.
Sementara secara epistemologis, pengetahuan dalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan manusia tidak saja diperoleh secara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, tapi juga melalui catatan-catatan (buku-buku, kepustakaan). Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Semakin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktik, semakin besar persiapan kita menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide memecahkan masalah. Kebenaran adalah konsekuen daripada suatu ide, realita pengetahuan, dan daya guna dalam hidup (Muhammad Noor Syam, 1986: 236).
Dan secara aksiologis, menurut aliran ini, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dan dari sinilah adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dari individu-individu (Barnadib, 1987: 31-32). Nilai benar atau salah, baik atau buruk, dapat dikatakan apabila menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.
Menurut John S. Brubacher, filsafat progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Dan dalam banyak hal, progresivisme identik dengan pragmatisme. Karena itu, apabila orang menyebut pragnatisme, berarti ia menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297).
 Dengan demikian, filsafat progresivisme sama dengan pragmatisme. Penamaan filsafat progresivisme atau pragmatism ini merupakan perwujudan dari ide asal wataknya. Artinya, filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatism yang telah memberikan konsep dasar dengan asas yang utama, bahwa agar manusia bias survive menghadapi semua tantangan hidup, manusia harus pragmatis dalam memandang kehidupan.
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran dan mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik.
a.      Asas Belajar
Filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan potensi kelebihan manusia disbanding dengan makhluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif dan dinamis tersebut, ankak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya (Barnadib, 1992: 34-35).
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki isi pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
b.      Pandangan Kurikulum Progrestivisme
Selain kemajuan, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu, filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat memengaruhi anak belajar secara edukatif baik dilingkungan sekolah maupun diluar. Dalam hal ini, tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang baik pula (Barnadib, 1992: 29).
Filsafat progresivisme menghendaki sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), luas dan terbuka. Dengan berpijak dari prinsip tersebut, maka kurikulum dapat direvisi dan dievaluasi setiap saat sesuai dengan kebutuhan setempat.
 Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes dan terbuka. Jadi, kurikulum itu bisa dirubah dan dibentuk sesuai zaman. Karena sekolah didirikan untuk mendidik anak dan masyarakat, maka kurikulum edukatifnya harus dapat memenuhi dan mewadahi aspirasi anak, orang tua dan masyarakat. Sifat kurikulumnya adalah bersifat ekserimen atau tipe core curriculum.
W. H. Kilpatrick (Arifin, 1987: 93) megatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip. Pertama, meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang. Kedua, menjadikan kehidupan actual anak kearah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh. Ketiga, mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga kemampuan anak didik dapat berkembang secara aktual dan aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan.
c.   Pandangan Progresivisme tentang Budaya
            Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, sepanjang sejarah dikenal sebagai milik manusia yang tidak kaku. Ia selalu berkembang dan berubah. Filsafat progresivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu mengubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi zaman tradisional untuk memasuki zaman modern.
            Filsafat progresivisme, yang memiliki konsep manusia memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat memecahkan problematika hidupnya, telah memengaruhi pendidikan dengan pembaharuan-pembaharuan pendidikan untuk maju. Sehingga semakin tinggi tingkat berpikirnya manusia semakin tinggi pula tingkat budaya dan peradaban manusia. Akibatnya anak-anak tumbuh menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana dan terbelakang menjadi masyarakat maju.
2.      Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, namun tidak melebur menjadi satu dan tidak melepaskan karakteristiknya masing-masing.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Sedangkan idealisme modern, sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
a.      Pandangan Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Dengan kata lain, bagaimana bentuk, sifat, kehendak, dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
b.      Pandangan Epistemologi Esensialisme
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari bahwa realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya.
1)      Kontroversi jasmaniah ruhaniah
Perbedaan idealisme dan realisme adalah karena yang pertama menganggap bahwa ruhani adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di dalam dan melalui ide, ruhaniah. Sebaliknya, realis berpendapat bahwa kita hanya mengetahui suatu realita di dalam melalui jasmani. Bagi sebagian penganut realisme, pikiran itu bersifat jasmaniah sehingga tunduk kepada hukum-hukum fisik.
Dengan demikian, unsur ruhani dan jasmani merupakan realita kepribadian manusia. Untuk mengerti manusia, baik filosofis maupun ilmiah, haruslah melalui hal tersebut dan pendekatan rangkap yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan.
2)      Pendekatan idealisme pada pengetahuan
a)      Kita hanya mengerti ruhani kita sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia, adalah bagian dari rasio Tuhan yang Maha Sempurna.
b)      Menurut T. H. Green, pendekatan personalisme itu hanya melalui intropeksi. Padahal manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Karena itu, setiap pengamatan mental pasti melalui refleksi berbagai macam pengamatan.
c)      Dalam filsafat religius yang modern, ada teori yang mengatakan bahwa sesuatu yang dimengerti adalah karena resonansi pengertian Tuhan.
3)      Pendekatan realisme pada pengetahuan
Dalam hal ini, terdapat beberapa pendekatan. Pertama, teori asosiasionisme. Teori ilmu jiwa asosiasi ini dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke. Pikiran atau ide-ide dan isi jiwa adalah asosiasi unsur-unsur pengindraan dan pengamatan.
Kedua, teori behaviorisme. Aliran ini berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah laku, sebab manusia sebagai suatu organisme adalah totalitas mekanisme biologis.
Ketiga, teori koneksionisme. Teori ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola hubungan-hubungan antara stimulus dan respons.
4)      Tipe epistemologi realism
Ada beberapa tipe epistemologi realisme yaitu neorealisme dan critical realisme.
c.       Pandangan Aksiologi esensialisme
Pandangan ontologi dan epistemologi sangat memengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dan tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Dengan kata lain, esensialisme terbina oleh kedua syarat tersebut.
1)      Teori nilai menurut idealisme.
Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
2)      Teori nilai menurut realism
Sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidup.
d.      Pandangan esensialisme mengenai belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah buikanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
Pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas. Pertama, determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Kedua, determinisme terbatas, yang memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.


e.       Pandangan esensialisme mengenai kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaknya berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan inilah kegiatan pendidikan dilakukan.
Kurikulum, menurut Herman Harrel Horne, hendaknya bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal.
Pertama, universum. Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia.
Kedua, sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat.
Ketiga, kebudayaan. Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran, dan penilaian mengenai lingkungan.
Keempat, kepribadian. Pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
3.      Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
a.      Pandangan ontologis perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden, dan substansi. Secara ontologis, perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual disini adalah benda sebagaimana yang tampak di hadapan manusia dan yang ditangkap dengan pancaindera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu.

Esensi dari suatu kualitas menjadikan benda itu lebih intrinsic daripada fisiknya, seperti manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Sedangkan, aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan yang esensial. Misalnya, orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus. Sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya particular dan universal, material dan spiritual (Ibid, 1990: 64-65).
b.      Pandangan epistemologis perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikiran dengan benda-benda.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan, anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik kea rah kematangan. Matang dalam arti hiodup akalnya. Jadi, akl inilah yang perlu mendapat tuntunan kea rah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
c.       Pandangan aksiologi perenialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdsarkan asas-asas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asa seperti itu, ontology dan epistemology tidak hanya didasarkan pada prinsip teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Khusus dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, disamping kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik (Muhammad Noor Syam, 1986:316).
Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena manusia itu secara alamiah condong pada kebaikan.
4.      Aliran Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bearsal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan
a.      Pandangan ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan bagaimana hakikat dari segala sesuatau. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal; realita itu ada di mana-mana dan sama di setiap tempat (Muhammad Noor Syam 1983:306).
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme. Menurut Bakry (1986: 51), aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber, yakni hakikat materi dan hakikat ruhani.
b.      Pandangan epistemologis
Kajian epistemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatism (progressive) dan perenialisme. Menurut aliran ini, untuk memahami realita memerlukan suatu asas tahu. Maksudnya, kita tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan ilmu pegetahuan.
c.       Pandangan aksiologi
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam semesta, prosesnya tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral. Dalam hal ini manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup pengertian “nilai’ ini terbatas.



Selasa, 30 Oktober 2012

Filsafat Pendidikan

A. Pengertian Filsafat dan Pendidikan 
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia yang berarti cinta pengetahuan. Terdiri dari kata “philos” yang berarti cinta, senang dan suka, serta kata “Sophia” berarti pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan (Ali, 1986: 7). Hasan Shadily (1984: 9) mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan demikian, dapat ditarik pengertian bahwa filsafat adalah cinta pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan bijaksana.
Arti pendidikan secara etimologi yaitu paedagogie berasal dari bahasa yunani, terdiri dari kata “Pais” artinya anak, dan “again” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie yaitu bimbingan yang diberikan kepada anak. Menurut John Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.
Berbagai pengertian filsafat  pendidikan telah dikemukakan para ahli. Menurut Al-Syibany (1979: 36), filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya.
Filsafat pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
  B. Pengertian Ontologi, Epistemologi, dan aksiologi
Ontologi berarti ilmu filsafat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya: apakah hakikat dibalik alam nyata ini. Ontologi meyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi panca indera kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme).
Epistimologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Menurut epistimologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia (Salam, 1988: 19). Epistemologi membahas sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya (Muhammad Noor Syam, 1986: 32).
Sedangkan aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi lain, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia. Untuk selanjutnya, nilai-nilai tersebut ditanamkan dalam kepribadian anak (Ibid, 1986: 95).