A.
Aliran-Aliran
Filsafat Pendidikan Modern
Dalam filsafat pendidikan modern dikenal beberapa
aliran, antara lain progresivisme, esensialisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme.
1.
Aliran
Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan
berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar
manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan
mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan
dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987:
228-229).
Aliran progresivisme memiliki
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan meliputi : ilmu hayat, bahwa manusia
mengetahui semua masalah kehidupan; antropologi, bahwa manusia mempunyai
pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru; psikologi,
bahwa manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, pengalaman,
sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengatur alam.
Adapun tokoh-tokoh aliran
progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans
Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.
Dalam pandangan ontologis, menurut
aliran progresivisme, kenyataan alam semesta merupakan kenyataan kehidupan
manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia terhadap segala sesuatu.
Pengalaman tentang penderitaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan dan lain-lain
adalah realitas manusia sampai mati. Pengalaman adalah suatu sumber evolusi,
yang berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang
mudah-mudah menerobos pada yang sulit-sulit (proses perkembangan lama).
Pengalaman adalah perjuangan, sebab hidup adalah tindakan dan perubahan-perubahan.
Manusia akan tetap hidup berkembang jika ia mampu mengatasi perjuangan,
perubahan, dan berani bertindak.
Sementara secara epistemologis,
pengetahuan dalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kebiasaan yang
terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman.
Pengetahuan manusia tidak saja diperoleh secara langsung melalui pengalaman dan
kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, tapi juga melalui
catatan-catatan (buku-buku, kepustakaan). Pengetahuan adalah hasil aktivitas
tertentu. Semakin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak
pengalaman kita dalam praktik, semakin besar persiapan kita menghadapi tuntutan
masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru
di dalam lingkungan. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide memecahkan masalah.
Kebenaran adalah konsekuen daripada suatu ide, realita pengetahuan, dan daya
guna dalam hidup (Muhammad Noor Syam, 1986: 236).
Dan secara aksiologis, menurut
aliran ini, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dan dari sinilah
adanya pergaulan. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah
sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan
dari individu-individu (Barnadib, 1987: 31-32). Nilai benar atau salah, baik
atau buruk, dapat dikatakan apabila menunjukkan kecocokan dengan hasil
pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.
Menurut John S. Brubacher, filsafat
progresivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952), yang menitikberatkan pada
segi manfaat bagi hidup praktis. Dan dalam banyak hal, progresivisme identik
dengan pragmatisme. Karena itu, apabila orang menyebut pragnatisme, berarti ia
menyebut progresivisme (Ali, 1990: 297).
Dengan demikian, filsafat progresivisme sama
dengan pragmatisme. Penamaan filsafat progresivisme atau pragmatism ini
merupakan perwujudan dari ide asal wataknya. Artinya, filsafat progresivisme
dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatism yang telah memberikan konsep
dasar dengan asas yang utama, bahwa agar manusia bias survive menghadapi semua
tantangan hidup, manusia harus pragmatis dalam memandang kehidupan.
Aliran progesivisme telah memberikan
sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan
dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme
tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan
mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang
gembira menghadapi pelajaran dan mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun
psikis anak didik.
a.
Asas Belajar
Filsafat progresivisme mempunyai
konsep bahwa anak didik mempunyai akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan
merupakan potensi kelebihan manusia disbanding dengan makhluk lain. Dengan
potensi yang bersifat kreatif dan dinamis tersebut, ankak didik mempunyai bekal
untuk menghadapi dan memecahkan problema-problemanya (Barnadib, 1992: 34-35).
John Dewey memandang bahwa
pendidikan sebagai proses dan sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya
sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari
pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah
dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah
saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal
adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar.
Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus
dapat mengupayakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah
sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha
ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan
kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki isi pendidikan dengan
bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing
(Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan
anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah
tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value),
sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
b.
Pandangan Kurikulum Progrestivisme
Selain kemajuan, lingkungan dan
pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Untuk itu,
filsafat progresivisme menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum
yang program pengajarannya dapat memengaruhi anak belajar secara edukatif baik
dilingkungan sekolah maupun diluar. Dalam hal ini, tentunya dibutuhkan sekolah
yang baik dan kurikulum yang baik pula (Barnadib, 1992: 29).
Filsafat progresivisme menghendaki
sekolah yang memiliki kurikulum yang bersifat fleksibel (tidak kaku, tidak
menolak perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu), luas dan terbuka.
Dengan berpijak dari prinsip tersebut, maka kurikulum dapat direvisi dan
dievaluasi setiap saat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Filsafat progresivisme menghendaki jenis
kurikulum yang bersifat luwes dan terbuka. Jadi, kurikulum itu bisa dirubah dan
dibentuk sesuai zaman. Karena sekolah didirikan untuk mendidik anak dan
masyarakat, maka kurikulum edukatifnya harus dapat memenuhi dan mewadahi
aspirasi anak, orang tua dan masyarakat. Sifat kurikulumnya adalah bersifat
ekserimen atau tipe core curriculum.
W. H. Kilpatrick (Arifin, 1987: 93)
megatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip.
Pertama, meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang. Kedua,
menjadikan kehidupan actual anak kearah perkembangan dalam suatu kehidupan yang
bulat dan menyeluruh. Ketiga, mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai
suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga kemampuan anak didik dapat
berkembang secara aktual dan aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk
diamalkan.
c. Pandangan Progresivisme tentang Budaya
Kebudayaan
sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, sepanjang
sejarah dikenal sebagai milik manusia yang tidak kaku. Ia selalu berkembang dan
berubah. Filsafat progresivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu
mengubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi
zaman tradisional untuk memasuki zaman modern.
Filsafat
progresivisme, yang memiliki konsep manusia memiliki kemampuan-kemampuan yang
dapat memecahkan problematika hidupnya, telah memengaruhi pendidikan dengan
pembaharuan-pembaharuan pendidikan untuk maju. Sehingga semakin tinggi tingkat
berpikirnya manusia semakin tinggi pula tingkat budaya dan peradaban manusia.
Akibatnya anak-anak tumbuh menjadi dewasa, masyarakat yang sederhana dan
terbelakang menjadi masyarakat maju.
2.
Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran
pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan
cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih
fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan
doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan
dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme dan realisme adalah aliran
filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai
pendukung esensialisme, namun tidak melebur menjadi satu dan tidak melepaskan
karakteristiknya masing-masing.
Realisme modern yang menjadi salah
satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan
dunia fisik. Sedangkan idealisme modern, sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spiritual.
a.
Pandangan Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi
esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada
cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Dengan kata lain, bagaimana
bentuk, sifat, kehendak, dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata
alam yang ada.
Tujuan umum aliran esensialisme
adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Isi pendidikannya
mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia.
b.
Pandangan Epistemologi Esensialisme
Teori kepribadian manusia sebagai
refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab,
jika manusia mampu menyadari bahwa realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos,
maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu
memikirkan kesemestiannya.
1) Kontroversi jasmaniah ruhaniah
Perbedaan idealisme dan realisme
adalah karena yang pertama menganggap bahwa ruhani adalah kunci kesadaran
tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di dalam dan melalui ide,
ruhaniah. Sebaliknya, realis berpendapat bahwa kita hanya mengetahui suatu
realita di dalam melalui jasmani. Bagi sebagian penganut realisme, pikiran itu
bersifat jasmaniah sehingga tunduk kepada hukum-hukum fisik.
Dengan demikian, unsur ruhani dan
jasmani merupakan realita kepribadian manusia. Untuk mengerti manusia, baik
filosofis maupun ilmiah, haruslah melalui hal tersebut dan pendekatan rangkap
yang sesuai dalam pelaksanaan pendidikan.
2) Pendekatan idealisme pada
pengetahuan
a) Kita hanya mengerti ruhani kita
sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang
lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia, adalah bagian dari rasio Tuhan yang
Maha Sempurna.
b) Menurut T. H. Green, pendekatan
personalisme itu hanya melalui intropeksi. Padahal manusia tidak mungkin
mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Karena
itu, setiap pengamatan mental pasti melalui refleksi berbagai macam pengamatan.
c) Dalam filsafat religius yang modern,
ada teori yang mengatakan bahwa sesuatu yang dimengerti adalah karena resonansi
pengertian Tuhan.
3) Pendekatan realisme pada pengetahuan
Dalam hal ini, terdapat beberapa
pendekatan. Pertama, teori asosiasionisme. Teori ilmu jiwa asosiasi ini
dipengaruhi oleh filsafat empirisme John Locke. Pikiran atau ide-ide dan isi
jiwa adalah asosiasi unsur-unsur pengindraan dan pengamatan.
Kedua, teori behaviorisme. Aliran
ini berkesimpulan bahwa perwujudan kehidupan mental tercermin pada tingkah
laku, sebab manusia sebagai suatu organisme adalah totalitas mekanisme
biologis.
Ketiga, teori koneksionisme. Teori
ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh
pola-pola hubungan-hubungan antara stimulus dan respons.
4) Tipe epistemologi realism
Ada beberapa tipe epistemologi realisme yaitu neorealisme
dan critical realisme.
c.
Pandangan Aksiologi esensialisme
Pandangan ontologi dan epistemologi
sangat memengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal
dan tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Dengan kata
lain, esensialisme terbina oleh kedua syarat tersebut.
1) Teori nilai menurut idealisme.
Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi
perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
2) Teori nilai menurut realism
Sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidup.
d.
Pandangan esensialisme mengenai
belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup,
memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku.
Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya
sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos
menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia
melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman
lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan
benda-benda, bukan berarti semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan
waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori yang terarah buikanlah budi pada
benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada budi. Budi membentuk dan
mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut,
belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang membina dan
menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli
sosiologi dan filosof , menerangkan tentang hakikat social dari hidup mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan ruhani yang pasif, hal ini berarti bahwa
manusia pada umumnya menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh
alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh
nilai-nilai social angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan
diteruskan pada angkatan berikutnya.
Pandangan-pandangan realisme
mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas.
Pertama, determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami
hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang
bersama-sama membentuk dunia ini. Kedua, determinisme terbatas, yang memberikan
gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar.
e.
Pandangan esensialisme mengenai
kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang
bahwa kurikulum itu hendaknya berpangkal pada landasan idiil dan organisasi
yang kuat. Bersumber atas pandangan inilah kegiatan pendidikan dilakukan.
Kurikulum, menurut Herman Harrel
Horne, hendaknya bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang
ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal.
Pertama, universum. Pengetahuan
merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia.
Kedua, sivilisasi. Karya yang
dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat.
Ketiga, kebudayaan. Kebudayaan
merupakan karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian,
kesusastraan, agama, penafsiran, dan penilaian mengenai lingkungan.
Keempat, kepribadian. Pembentukan
kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang
ideal.
3.
Aliran Perenialisme
Perenialisme memandang pendidikan
sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat
ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi sseorang untukk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah,
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah arsah tujuan yang
jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
a.
Pandangan ontologis perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari
pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden, dan substansi.
Secara ontologis, perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek
perwujudannya. Benda individual disini adalah benda sebagaimana yang tampak di
hadapan manusia dan yang ditangkap dengan pancaindera seperti batu, lembu,
rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu.
Esensi dari suatu kualitas
menjadikan benda itu lebih intrinsic daripada fisiknya, seperti manusia yang
ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Sedangkan, aksiden adalah
keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan yang esensial. Misalnya, orang suka bermain sepatu roda,
atau suka berpakaian bagus. Sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap
individu, misalnya particular dan universal, material dan spiritual (Ibid,
1990: 64-65).
b.
Pandangan epistemologis perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa
segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang
terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian antara pikiran dengan benda-benda.
Menurut perenialisme, ilmu
pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi, karena dengan ilmu
pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka
kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran
dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan
mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan
dan berusaha mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan, anak didik mampu
mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan
disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran besar pada masa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti
bahasa, sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu
pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepadaperkembangan
zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah
mempersiapkan anak didik kea rah kematangan. Matang dalam arti hiodup akalnya.
Jadi, akl inilah yang perlu mendapat tuntunan kea rah kematangan tersebut.
Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan
pengetahuan yang tradisional seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak
didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam
pendidikan, mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan
pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan
pengajaran (pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak
dalam nidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan.
c.
Pandangan aksiologi perenialisme
Perenialisme memandang masalah nilai
berdsarkan asas-asas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan
asa seperti itu, ontology dan epistemology tidak hanya didasarkan pada prinsip
teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Khusus dalam tingkah laku
manusia, manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai
dengan kodratnya, disamping kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan
kearah yang tidak baik (Muhammad Noor Syam, 1986:316).
Masalah nilai merupakan hal yang
utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural
yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi,
hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu,
hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan
persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran
demikian bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang
bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena manusia itu secara alamiah
condong pada kebaikan.
4.
Aliran Rekonstruksionisme
Kata Rekonstruksionisme bearsal dari
bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks
filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha
merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonstruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu
berawal dari krisis kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340),
kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang
mempumyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan
kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme
berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia.
Karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui
pendidikan yang tepat akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang
benar pula demi generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam
pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki
persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan
diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh
golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori,
tetapi mesti diwujudkan menjadi kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas
kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa
membedakan warna kulit,, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan
masyarakat bersangkutan
a.
Pandangan ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan
bagaimana hakikat dari segala sesuatau. Aliran rekonstruksionisme memandang
bahwa realita itu bersifat universal; realita itu ada di mana-mana dan sama di
setiap tempat (Muhammad Noor Syam 1983:306).
Pada prinsipnya, aliran
rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme. Menurut Bakry
(1986: 51), aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam
hakikat sebagai asal sumber, yakni hakikat materi dan hakikat ruhani.
b.
Pandangan epistemologis
Kajian epistemologis aliran ini
lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatism (progressive) dan perenialisme.
Menurut aliran ini, untuk memahami realita memerlukan suatu asas tahu.
Maksudnya, kita tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman
dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan ilmu pegetahuan.
c.
Pandangan aksiologi
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan
nilai-nilai. Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam semesta, prosesnya
tidak mungkin dilakukan dengan sikap netral. Dalam hal ini manusia sadar
ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan
kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup pengertian “nilai’ ini
terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar